Tuesday 7 October 2008

Puasa Momentum Membangun Kerukunan

Oleh: KH. Muhyiddin Abdusshomad (Ketua PCNU Jember)


Bagi umat Islam idul fitri merupakan peristiwa spriutal yang tak ternilai harganya. Alangkah bahagia dan gembiranya kita, yang telah sebulan penuh diberi rahmat oleh Allah SWT, sehingga dapat melaksanakan puasa dengan baik dan tuntas. Puncak kebahagiaan itu adalah idul fitri. Itu tidak lain kecuali karena kita semua telah kembali kepada posisi fitrah. Yaitu sebuah fase di mana manusia kembali kepada asal kejadiannya, yaitu suci, laksana bayi yang baru lahir.

Untuk mencapai kesempurnaan idul fitri, marilah kita saling memaafkan atas dosa yang telah kita perbuat. Kita lupakan kealpaan yang terlanjur mengemuka. Kita lenyapkan buruk sangka yang ada. Dan kita singkirkan butir-butir dendam yang menyesakkan dada. Idul fitri bukan hanya peristiwa salat dan salam-salaman, yang gampang hilang begitu matahari tenggelam. Idul fitri baru sempurna kalau dijadikan ajang untuk memperbaiki diri, baik kepada Allah maupun kepada sesama, sehingga momentum hari raya tetap menggaung dalam kehidupan kita sepanjang masa. Satu hal penting yang bisa didapat dari idul fitri, yaitu membangun ukuwah, merajut persaudaraan abadi sebagai tindak lanjut dari salam-salaman dan saling maaf.

Untuk itu, ada beberapa hal yang harus dipenuhi agar ukhuwah yang kita bangun, kerukunan yang kita gapai, dapat berjalan sepanjang masa. Pertama, hindari kita mengejek orang lain. Mengejek, baik dengan sindiran, atau apalagi langsung, sangat dilarang dalam Islam. Sebab, sebuah ejekan menimbulkan efek berantai yang sulit dipadamkan. Orang yang diejek, pasti hatinya terluka, perasaannya teriris. Dan dari situlah kerap timbul bara dendam. Selama luka di hati masih menganga, selama itu pula segala cara dilakukan untuk memuntahkan dendam. Lebih dari itu, tidak menutup kemungkinan orang yang diejek justru lebih baik dibanding yang mengejek di hadapan Allah. Allah telah mewanti-wanti dengan firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengejek atau mengolok-olok kaum yang lain, karena boleh jadi mereka yang diejek lebih baik dari pada yang mengejek...” (al-Hujuraat, 11).

Baik-buruknya pribadi seseorang, yang tahu persis hanyalah Allah. Bisa jadi seseorang yang oleh manusia sudah dicap tidak baik, hina dina dan sebagainya, tapi dalam penilaian Allah justru dia mulya, justru amalnya diterima. Sebaliknya, seseorang yang menurut penglihatan manusia sudah begitu hebat karena kaya dan bertitel misalnya, namun menurut Allah boleh jadi dia tidak bermartabat. Karena itu, Allah melarang kita mengejek sesama. Islam senantiasa mengajarkan agar kita selalu mengoreksi diri, mengaca diri agar proses perbaikan diri tidak stagnan.

Poit kedua yang harus diperhatikn agar bangunan ukhuwah tetap kokoh adalah menebar kasih sayang. Islam sangat menganjurkan agar kelemah-lembutan dan kasih sayang selalu ditebarkan dalam setiap pergaulan. Bahkan Nabi Muhammad SAW bersabda: “Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak sayang kepada yang lebih muda dari kami dan orang yang tidak hormat kepada yang lebih tua dari kami”.

Ada dua kalimat yang patut menjadi perhatian dari hadits diatas. Pertama adalah yarham atau kasih sayang, dan kedua adalah yuwaqqir atau hormat. Secara redaksional, hadits itu menempatkan kata yarham sebelum yuwaqqir. Ini menunjukkan bahwa yang lebih tua harus lebih dulu memberi contoh kepada yang muda dengan berlaku lembut, kasih sayang, dan sebagainya. Ketika yang muda melakukan kesalahan, maka bimbinglah. Bukan divonis. Ketika yang muda sudah berlaku baik, apalagi berpretasi, maka tak ada salahnya yang lebih tua memberikan apreasiasi secara proporsional. Begitu pula sebaliknya, yang muda harus menghormati yang lebih tua.

Kasih sayang dan rasa hormat adalah dua hal yang saling terkait. Kasih sayang yang ditunjukkan senior, otomais akan melahirkan rasa respek bagi si yunior. Dari kasih dan hormat itulah, kerukunan dan kedamaian akan tercipta.

Terus terang kita patut prihatin bahwa dewasa ini kasih sayang dan rasa hormat seolah sudah jadi barang langka. Kita hampir tiap hari disuguhi tontotan layar gelas yang menggambarkan perlakuan kasar seorang bapak kepada anaknya, bahkan ada yang sampai hati membunuh darah dagingnya sendiri. Dan tak jarang pula, anak mendurhakai orang tuanya, malah berani menggorok leher ayahnya. Subhanalloh, miniatur peradaban kuno kini marak terjadi.

Di luar lingkup keluarga, kekerasan juga masih menjadi tontotan harian. Hanya karena persoalan sepele, karena berbeda keyakinan dan organisasi, orang sampai hati menganiaya orang lain yang nota bene sesama muslim. Di lingkup politik, juga tak kalah hebatnya. Keinginan untuk merebut kekuasaan, kerap kali mengorbankan kerukunan, bahkan hubungan kekerabatan yang telah lama berurat-berakar, tiba-tiba harus terputus. Rasa hormat dan kasih sayang dikubur dalam-dalam demi sebuah ambisi politik. Astaghfirullah.

Point ketiga yang harus kita perhatikan adalah kepedulian sosial. Pelaksanaan puasa tidak hanya sekedar terkait dengan fungsi penghambaan manusia terhadap Allah, tapi juga bertautan dengan sisi kemanusiaan. Puasa melatih sensitifitas sosial kita dalam mengarungi kehidupan. Sehingga ketika ramadhan berakhir, seharusnya feeling sosial kita tambah tajam untuk mengendus penderitaan masyarakat yang tersembunyi di balik gubug, di kolong jembatan dan bahkan di antara gedung-gedung pencakar langit.

Pernahkah kita berpikir bahwa di tengah kekayaan alam Indonesia yang melimpah ruah ini, di saat kita semua yang berbahagia ini, masih banyak keluarga yang nasibnya Senin-kamis. Masih banyak orang yang kesulitan untuk sekedar mencari sesuap nasi. Salah satu indikasinya, tiap hari kita menjumpai pengemis, gelandangan dan peminta-minta. Kalau nurani kita tajam, tentu terenyuh menyaksikan anak-anak yang masih belia itu sudah menengadahkan tangan di jalan. Mereka jelas butuh kepedulian sekaligus uluran tangan kita. Di situlah wujud nyata dari penggemblengan diri selama ramadlan.

Nabi Muhammad SAW mencap orang yang hanya mementingkan diri sendiri sebagai orang yang tidak beriman, seperti sabdanya: “Tidaklah beriman orang yang kenyang, sementara tetangganya kelaparan”.

Hadist tersebut menunjukkan bahwa begitu pentingnya kita memperhatikan tetangga, sampai-sampai Nabi menghubungkan kepedulian dengan keimanan. Karena itu, orang yang hanya mau kenyang sendiri, padahal di kanan-kirinya masih banyak orang yang kelaparan, maka kwalitas keimanannya perlu dipertanyakan.

Tiga hal di atas, yaitu menghindari mengejek, membudayakan kasih sayang dan memelihara kepekaan sosial adalah merupakan kunci penting bagi terciptanya ukhuwah dan kerukunan abadi. Kerukunan adalah modal utama menuju kehidupan yang damai, aman dan tentram. Inilah sebenarnya yang menjadi tujuan manusia dalam mengarungi bahtera kehidupan, baik di dunia, lebih-lebih di akhirat kelak.

Sebagai manusia, tentu kita tak luput dari dosa dan khilaf. Tak ada doa besar jika terus menerus dimintakan ampun. Tak ada dosa kecil bila senantiasa ditimbun. Sekali lagi, marilah kita buka pintu maaf lebar-lebar. Dari kata maaf itulah, kita bisa membangun kerukunan. Ya, sebuah awal merajut kedamaian yang sesungguhnya.


Dasarikan dari Khotbah Idul Fitri 1429 H yang disampaikan KH. Muhyiddin Abdusshomad di Malang Hari Rabu 1 Okober 2008

No comments:

Pengelola pkbjember.blogspot.com

Blog ini dibuat oleh DPC PKB Jember.
Ary AR, Kholidi.